Filosofi Teras dan Kesehatan Mental Kita
Buku ini sudah lama ingin saya baca. Soalnya dulu memang banyak yang melakukan review dengan komentar positif. Entah kenapa baru tergerak membacanya minggu ini. Saya meminjamnya dari aplikasi ipusnas. Dan ternyata isinya memang sebagus itu. Ini adalah buku filsafat paling ringan untuk dipahami. Bahkan untuk mengerti maksudnya semudah membaca teenlit.
Jika memiliki pengalaman membaca buku filsafat berbahasa kaku, kalimatnya panjang, bertumpuk-tumpuk dan berbelit buang jauh-jauh anggapan itu. Pada buku filosofi teras karya Henry Manampiring ini bahasa digunakan tidak baku. Sebagai contoh kita akan sering menemui penggunaan kata gue, loe, atau istilah lainnya layaknya bahasa gaul. Begitu cair dan mengalir. Ditambah bumbu-bumbu joke sedikit cringe membuat saya tertawa geli.
Imbas paling dirasakan dari membaca buku ini adalah terkait kemampuan management emosi. Ada sebuah pernyataan jika hanya 10 persen masalah hidup kita disebabkan oleh masalah itu sendiri dan 90 persen sisanya adalah bagaimana cara kita bersikap atas masalah itu. Di sana dijelaskan secara runtut yang akan membuat kita bersepakat. Saluh satunya disebabkan oleh pikiran-pikiran kita yang seringkali menipu untuk bereaksi berlebih atas sebuah masalah/ musibah. Tak jarang terkadang menghubungkan kepada hal-hal bersifat irasional irasional. Padahal, jika ditinjau lagi faktanya tidak sebesar itu. Solusinya tidak tunggal, ada yang cukup bertahan, melawan, atau bergerak memutar.
Terkait pengendalian diri sebagai orang Islam saya diajarkan konsep jika mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya. Walau kelihatannya seremeh itu dalam menjangkau ilahiah, nyatanya begitu sulit. Saya sangat yakin banyak dari kita bahkan tidak mengenal dengan baik dirinya sendiri. Saya masih ingat suatu waktu pada acara training para peserta mengalami kesulitan ketika diminta menuliskan kelemahan dan kelebihan dirinya masing-masing 20. Kenyataan ini membenarkan ungkapan pepatah "kuman di seberang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tak tampak."
Mengenali diri sendiri itu dalam filsafat stoa bisa dimulai dari pengendalian perilaku. Intinya berdasarkan pedoman yang ditetapkan bisa tahu dimana batasan terhadap hal-hal masih berada dalam kendali dan diluar kendali. Terkait hal-hal dalam kendali, sudah semestinya wajib diperjuangkan, sedangkan yang diluar kendali tidak perlu dipikirkan apalagi dinilai.
Prinsip dikotomi seperti diatas memang belum sempurna. Sebab ada beberapa kasus bisa serta merta dinilainsecsra dikotomi, tetapi hanya sebagian. Semisal tentang prestasi anak kita di sekolah. Sekilas keputusan apakah seorang anak memperoleh rangking diluar kendali kita. Karena orang yang berwenang memberi rating angka-anak diluar kendali kita. Tetapi perlu diingat, rangking atau juara adalah akibat. Penyebab utamanya adalah buah dari usaha dan ketekunan. Makanya, dimunculkanlah trikotomi kendali untuk memilah dimana titik-titik yang berada dalam genggaman kita.
Jadi seorang stoik itu tidak akan memuji kamu anak pintar kepada mereka yang juara. Yang akan dikatakan ialah selamat kamu telah berusaha dengan giat sehingga memiliki hasil baik.
Dari contoh panduan-panduan seperti diatas kita akan dibuat mengerti bahwa filosofi teras atau stoisme menekankan pada kedamaian jiwa. Para filsuf stoa ribuan tahun lalu seperti benar-benar memahami perulangan pergulatan manusia atas masalah-masalah hidupnya. Segala konflik batin maupun kepentingan pasti menghampiri. Entah itu akan cepat atau lambat. Tugas manusia cuma satu, yaitu menemukan solusi, solusi, dan solusi. Karena masing-masing dari kita tokoh utama diatas panggung sandiwara dunia.
Lantas apa bedanya dengan agama? bukankah agama telah menjawab segala persoalan dunia?
Memang beberapa bagian beririsan bahkan sejalan dengan ajaran agama. Namun masalahnya sebagai umat kita belum bisa mandiri. Banyaknya tafsir atas sebuah persoalan malah membuat kebisingan tersendiri. Di media sosial agama telah menjadi sesuatu yang benar-benar berisik.
Banyak hal-hal remehbyang semestinya bisa dicerna oleh akal terus-terusan ditanyakan dan disandarkan kepada para pemuka agama. Jika kemudian pada kesempatan lain diulang ada jawaban lain otomatis akan dibenturkan. Kemudian tiba-tiba ada kelompok-kelompok memberi persepsi-persepsi berlebih atas perbedaan pendapat. Akhirnya melebar kemana-mana.
Sekali lagi agama itu baru akan benar-benar bekerja dan mampu hadir kepada umatnya jika mereka mau membaca dan memahami isi dari kitab sucinya. Tak usah takut tersesat saat belajar sendiri. Sebab kitab suci itu dibuat untuk mencerahkan bukan menyesatkan umat manusia. Kesesatan baru terjadi saat dengan mudahnya mempercayakan otoritas nalar kita kepada pihak lain.
Kembali lagi, filsafat stoa bagi umat beragama seharusnya mampu menjadi pelengkap. Jika terlalu malu mengakui sebagai itu, bolehlah dipandang sebagai jembatan penghubung titik-titik keimanan kita dalam menjalankan peran orang beriman ditengah masyarakat. Sebegitu pentingnya buku ini, membuat saya yakin mengatakan "sekali seumur hidup, setidaknya kita dan orang tersayang disekitar kita haru membaca buku filosofi teras ini".
Trenggalek,
12 Februari 2023