Memaknai Puisi-Puisi Kahlil Gibran dalam buku Nyanyian Jiwa
Kehidupan berjalan mengikuti mekanisme alam. Ia bekerja lewat kekuatan misterius. Entah bagaimana semua makhluk hidup tiba-tiba terprogam untuk terus bertahan mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Caranya lewat aktifitas seperti makan, tidur, bermain, ngesex, dan mencintai. Pada hakikatnya manusia juga sama. Ia memiliki semua hal yang dimiliki oleh binatang. Pada titik tertentu entah bagaimana kita tiba-tiba saja menjadi isitimewa. Itu terjadi ketika bisa menggunakan fungsi otak secara lebih banyak untuk saling bekerja sama, bertukar informasi dan membangun peradaban.
Penggunaan nalar dan logika yang monoton ternyata cukup membosankan. Hampa dan terasa kering. Maka selama proses hidup dibutuhkanlah warna lain untuk mengisi kehidupan yang bersifat lebih berwarna. Imajinasi kita menjawab dengan cara memaknai segala hal yang ada disemesta beserta penafsiran-penafsirannya. Hari ini kita menyebut sebagai seni. Produknya bisa untaian kata-kata indah, lukisan, tari-tarian, musik, sampai sinematografi.
Kali ini saya hanya akan membahas tentang puisi cinta ditulis oleh Kahlil Gibran dalam buku yang berjudul 'Nyanyian Jiwa". Buku ini diterbitkan oleh penerbit Elmatera, tahun 2017. Dengan penerjemah Putri Pandan Wangi.
Kesohoran nama Kahlil Gibran sebagai legenda maestro pujangga padang pasir sebanding dengan karyanya. Itulah kesan saya terhadap buku ini. Tidak overating. Meski, sudah dalam bentuk terjemahan bahasa Indonesia tetap membuat decak kagum. Getaran perasaan yang seolah-olah ia berbicara dari hati terasa kuat. Kesedihan dan kerinduan mendominasi alunan kata begitu indah.
Bagi orang awam seperti saya kenikmatan puisi-puisi Kahlil Gibran dalam edisi buku ini terletak pada penempatan majas yang proporsional. Tidak berlebihan, jujur, menguapkan ilusisebagai curahan pengalaman otentik penulis. Sehingga membuat pembaca tergiring oleh perasaan untuk terus menaruh simpati.
Tak hanya pergolakannya dengan cinta. Ada juga puisi yang menurut saya lucu. Seperti dalam judul "Bayangan Seekor Kucing, Menemukan Kebodohan, Sepotong Filsuf di Sawah, dan Harga Sebuah Ambisi. Ketiganya benar-benar mengajak kita menertawakan diri sendiri. Ada keegoisan dalam setiap makhluk jika dipikirkan lebih dalam ternyata konyol.
Bagian puisi-puisi terkait dengan ketuhanan pemahaman saya belum bisa menjangkau. Apakah Kahlil sedang berbicara dalam eufisme atau sedang berbicara menggunakan bahasa makrifat. Kapasitas pengetahuan saya tentang puisi memang terbatas. Tetapi saya tetap bisa menikmatinya.
Seperti kata penulis, jika cinta itu harus dilatih dan dilerbaharui setiap hari. Begitupun perasaan kita sebagai manusia juga perlu dilatih dan diperbaharui setiap hari. Agar hati tidak mengeras dan menganggap biasa akibat termakan kebiasaan yang kemudian hambar.
Bahwa anugerah kita sebagai manusia adalah memberi makna. Sudah sewajarnya jika hal ini kita pergunakan untuk membangun jembatan perasaan kepada semua makhluk di semesta. Dengan saling memberi kasih sayang semestinya mampu menegakkan kedamaian. Kasih dan Sayang juga menjadi keadilan bagi mereka yang sedang kaya ataupun miskin untuk merasakan kebahagiaan.
Trenggalek,
15 Februari 2023